Kamis, 29 Juli 2010

Sejarah Indonesia (1945-1949)

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, bukan berarti perjuangan rakyat Indonesia telah selesai sampai di situ. Tidak serta merta Indonesia bisa bebas dari penjajahan Jepang, belum lagi kekuatan asing lain yang masuk kedalamnya. Masa-masa di awal kemerdekaan Indonesia lebih banyak diwarnai oleh berbagai macam pertempuran dan bentrokan di sana sini daripada kedamaian.

Berikut ini adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 1945-1949:


1945

Mendaratnya Belanda dan Sekutu

Pada 23 Agustus 1945, Inggris bersama dengan tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh.


Pertempuran Melawan Sekutu dan NICA

Banyak pertempuran yang terjadi ketika masuknya Sekutu dan NICA ke Indonesia, diantaranya :

  1. Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya dan sekitarnya.
  2. Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang dan sekitarnya.
  3. Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman, meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur
  4. Bandung Lautan Api, di daerah Bandung dan sekitarnya.

1946-1947

Ibukota Dipindah ke Yogyakarta

Pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta pindah ke Yogyakarta sekaligus memindahkan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta karena keadaan Jakarta yang dirasa semakin gawat akibat serangan dari NICA.


Perubahan Sistem Pemerintahan

Salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil menjadi parlementer adalah pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno. Tindakan ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai tokoh yang tepat untuk dijadikan andalan diplomatik, bertepatan dengan terkenalnya partai sosialis di Belanda.

Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer) memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.


Penculikan Terhadap PM Syahrir

Tanggal 27 Juni 1946 terjadi peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir, karena ia dicap sebagai "pengkhianat yang menjual tanah airnya kepada musuh". Sjahrir diculik di Surakarta, ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia dibawa ke Paras, kota dekat Solo, di rumah peristirahatan seorang pangeran Solo dan ditahan di sana dengan pengawasan Komandan Batalyon setempat.

Pada malam tanggal 28 Juni 1946, Ir Soekarno berpidato di radio Yogyakarta. Ia mengumumkan bahwa keadaan di dalam negeri saat itu sedang berbahaya, maka dari itu Soekarno dengan persetujuan kabinetnya mengambil alih semua kekuasaan pemerintah dan hal itu berlangsung selama sebulan lebih. Tanggal 3 Juli 1946, Sjahrir dibebaskan dari penculikan; namun baru tanggal 14 Agustus 1946, Sjahrir diminta kembali untuk membentuk kabinet dan resmi kembali menjadi perdana menteri pada tanggal 2 Oktober 1946.


Peristiwa Westerling

Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda dibawah pimpinan Westerling. Peristiwa ini terjadi pada Desember 1946-Februari 1947.


Proklamasi Negara Pasundan

Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya Negara Pasundan . Sejak awal Belanda memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakibatkan perang. Oleh karena itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak dan karet).


Agresi Militer I

Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari agar supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Namun RI menolak hal ini.

Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri.

Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.


1948-1949

Perjanjian Renville

Perjanjian ini dilakukan di atas kapal perang milik Amerika yang bernama USS Renville pada tanggal 17 Januari 1948 yang dintandatangani oleh Belanda dan Indonesia.

Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi.


Agresi Militer II


Agresi Militer Belanda II terjadi pada tanggal 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.


Jatuhnya Kabinet Amir dan Naiknya Hatta Sebagai Perdana Menteri


Amir meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinya ini, dia mengharapkan munculnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.

Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.


Perjanjian Roem-Royen


Perjanjian Roem-Royen dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Perjanjian ini dipimpin oleh Mohammad Roem (Indonesia) dan Herman van Roijen (Belanda).

Hasil pertemuan ini adalah bahwa seluruh angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya, pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar, pemerintahan Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta dan angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang.

Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan yaitu, kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai dengan Perjanjian Renville pada 1948, Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak, Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia.


Serangan Umum 1 Maret 1949

Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa TNI masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan.


Serangan Umum Surakarta

Serangan Umum Surakarta berlangsung pada tanggal 7-10 Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya. Serangan itu menyadarkan Belanda bila mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Solo yang merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang andal seperti Slamet Riyadi. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar.


Konferensi Meja Bundar

Konferensi Meja Bundar dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 di Den Haag, Belanda. Hasil dari KMB adalah:

  • Penyerahterimaan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serahterima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
  • Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan Belanda sebagai kepala negara.
  • Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.

Terbentuknya RIS

Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presiden, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri. Mereka membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.


Belanda Mengakui Kemerdekaan Indonesia


Belanda tidak mengakui kemerdekaan indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan Belanda baru menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika penyerahan kedaulatan yang ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Pihak Belanda khawatir bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan Aksi Polisionil pada 1945-1949 adalah ilegal.

8 komentar: